Hari Minggu tanggal 15 November 2015 diadakan event lari internasional yang jumlah pesertanya semakin bertambah tiap tahun, Borobudur 10k. Walaupun judulnya adalah 10k, tetapi pada tahun ini ditambahkan agenda half marathon (21 km). Tahun lalu aku sudah ingin menjajal rasanya berlari dalam event ini, tetapi apa daya, izin tidak diberikan oleh ibuku. Tahun ini, program internship dokter yang sedang hangat dibicarakan para dokter fresh graduate ternyata memberikan blessing in disguise pada diriku. Aku akhirnya dapat mengikuti event ini.
Persiapan yang kulakukan tidak main-main. Sejak 2 bulan sebelumnya aku sudah rutin latihan, lari ditemani sejuknya hawa daerah dukun, muntilan, dan menggembleng otot-otot di gym. Semua ini demi sebuah medali, medali simbol penaklukan batas-batas diri yang ddidapatkan saat pelari mencapai garis finis. Lewat event ini aku ingin membuktikan bahwa batas hanya ada dalam kepala, batas ada untuk dilewati. Tekadku sudah bulat, aku akan mengikuti borobudur 10k dan mendapatkan medalinya.
Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Peserta diminta untuk bersiap sejak jam 5 pagi. Para personel pengamanan dan panitia bekerja dengan baik. Para pelari melakukan pemanasan dengan caranya masing-masing, yang penting otot-otot menjadi siap untuk digunakan. Sebelum start dimulai (yang dikomando oleh gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo dan Menteri Pemuda dan Olahraga Bapak Imam Nachrowi) kami para pelari menyanyikan lagu Indonesia Raya, rasa emosional dan letupan semangat langsung menggelora dalam diriku. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba, kami mulai berlari. Supaya tidak cepat lelah, aku menggunakan strategi menjaga pace. Aku berlari tidak terlalu lambat, dan tidak terlalu cepat, cukup untuk melepaskan diri dari kerumunan pelari yang hanya bertujuan untuk sekedar menikmati suasana event. Latihanku terbayar, 5 kilometer pertama terlewati dengan baik, iseng-iseng kulihat smartphone yang kukantongi sejak tadi untuk melihat berapa waktu dan jarak yang telah kutempuh, damn! Aplikasi yang kusetel tertutup sendiri karena HPku basah oleh keringat, ini tidak keren ASUS. Hal yang lebih kucemaskan daripada smartphoneku menjadi kenyataan, air minum di pos 5 km sudah habis. Aku beruntung karena sudah membawa bekal air minum 600 ml, tetapi bagaimana dengan pelari lainnya? Doaku bersama kalian. Di sepanjang perjalanan, tim kesehatan dari puskesmas setempat sigap berjaga jikalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak pula anggota TNI mengamankan kondisi sekaligus memberikan teriakan semangat bagi para pelari. Trek yang disiapkan oleh para panitia juga menarik, kami lari melewati daerah persawahan yang sejuk. Walaupun begitu, tetap saja 5 kilometer terakhir adalah tantangan bagiku, Kaki dan pikiranku sudah tidak sejalan sejak kilometer ke-6. Kepala berkata terus maju tetapi kaki sudah mulai lelah. Aku yakinkan dalam diri bahwa ini adalah ritual penggemblengan diri, ya, olahraga selama ini tidak hanya merupakan sarana melatih badan bagiku, tetapi juga untuk merasakan momen-momen spiritual yang dapat dirasakan bila kita mendorong tubuh kita sampai batas.
Kilometer ke-7 adalah pos penyiraman. Para pelari diberikan baskom berisi air untuk membasahi diri mereka, sekedar untuk merasakan sensasi segar. Kekuatanku kembali untuk beberapa saat. Demi menyemangati diri, aku berteriak "HAH!", sebuah pernyataan pada diriku bahwa aku tidak akan menyerah, dan aku meminta setiap sel dalam tubuhku untuk bekerja sama melewati ritual ini. 3 km terakhir adalah cobaan yang sebenarnya, kakiku hanya sanggup untuk berlari-lari kecil, tidak bisa mempertahankan kecepatan, tapi itu masih lebih baik daripada hanya berjalan pikirku. Demi menyemangati diri, aku terus berkata lirih "bisa! bisa!". 3 km terakhir ini adalah momen spiritual yang kucari, saat ini mental lebih berperan ketimbang fisik dan pikiranku harus benar-benar jernih.
Saat kembali memasuki kompleks candi Borobudur, aku mulai sedikit lega. Melihat papan penanda jarak, yang tersisa adalah 2 km. 2 km jarak yang memisahkan antara diriku dan medali simbol penaklukan diri itu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan diri bahwa aku sanggup, aku kuat, dan kita (aku dan tubuhku) akan mendapatkan hasil yang setimpal dengan usaha kita. 200 meter terakhir terlihat sudah garis finish, dan aku melakukan hal terkeren yang dapat kupikirkan saat itu untuk mengakhiri ritual ini, lari sprint dengan sekuat tenaga. Aku sudah tidak memikirkan waktu yang kucetak karena smartphone kesayanganku membuat ulah, tetapi aku rasa waktuku tidak buruk.
Setelah berjuang selama 1 jam, akhirnya medali itu dapat kuperoleh, medali simbol penaklukan batas diri, medali dari sebuah momen spiritual yang membuktikan bahwa batas hanya ada dalam kepala dan batas ada untuk dilewati. Aku puas, walaupun paha dalamku harus lecet terkena gesekan selama berlari, dan otot-otot kakiku pegal-pegal, aku membuktikan bahwa aku bisa menaklukkan batas diriku kali ini dan aku siap untuk menaklukkan batas-batas diriku yang lain